Rizki Amalia Nurfadhilah, itulah nama
saya. Sebuah nama dengan arti: Rezeki bila diamalkan akan menjadi cahaya yang
berguna. Ya, berguna. Begitulah orang tua mengharapkan saya menjadi sosok
manusia yang selalu memiliki rezeki yang akan membuat orang lain terbantu,
dengan kata lain menjadi bermanfaat bagi sekitar. Lalu sampai usia 20 tahun ini
sudahkah harapan yang diinginkan orang tua saya terwujud? Hmm, saya rasa belum
sepenuhnya terjadi karena masih ada banyak sekali mimpi dan hal yang harus digapai
demi terwujudnya harapan tersebut.
Dalam keluarga, saya adalah anak pertama
dari dua bersaudara. Memiliki seorang adik perempuan kecil yang berjarak 14
tahun. Usia yang terpaut cukup jauh membuat saya harus bisa menjadi sosok
panutan bagi adik kecil. Mengapa demikian? Ya, karena dimasa golden age-nya bisa merekam lebih banyak
segala hal yang terlihat dan terdengar. Dan, ya, menjadi seorang kakak adalah
tugas saya sebagai role model agar
memberikan contoh terbaik untuk adik. Bukankah menjadi yang terbaik untuk
bangsa dan agama dimulai dengan menjadi yang terbaik disekitar dulu? Salah
satunya, menjadi kakak terbaik bagi adik.
Hidup dengan nama yang memiliki arti
cukup baik tak jarang membuat saya merasa malu dan takut. Apakah saya bisa
sesuai nama saya? Apakah yang akan saya berikan untuk Negara ini? Apa yang akan
saya berikan untuk Bangsa in? Apa yang akan saya berikan untuk agama ini? Peran
saya sudah sampai mana? Sudahkah saya peduli dengan sekitar saya? Atau apakah
saya terlalu egois dan apatis terhadap orang lain?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selalu
muncul menjadikan saya selalu berusaha menjadi yang terbaik dan melakukan
segala sesuatu dengan maksimal. Selain mencoba menjadi kakak yang baik dan anak
yang bisa dibanggakan orang tua, cara saya membanggakan mereka adalah dengan
memperbaiki diri dan mencoba keluar dari zona nyaman. Ya, zona nyaman. Pada hakikatnya
manusia merupakan makhluk yang punya rasa penasaran tinggi, berusaha mencari
hal yang baru, dan tentunya keluar dari zona nyaman.
Sejak Sekolah Dasar belasan tahun silam,
saya sudah senang aktif dalam kegiatan di luar akademik. Mulai dengan mengikuti
kegiatan Pramuka dan menjadi delegasi untuk ikut Jambore Cabang 2010, dan
senang ikut berbagai lomba lain terlebih olahraga bola voli. Menginjak masa
putih abu rasa penasaran semakin mencuat ke permukaan. Mengikuti OSIS,
Paskibra, Pramuka, Voli, FAST (Forum Anak Sumedang Tandang), dan sebagainya.
Hanya saja, yang bertahan tiga tahun penuh saya ikuti hanyalah Paskibra. Masa
putih abu-pun dimulai, dan kala itu saya hanya mengikuti satu eksrakurikuler di
sekolah, yaitu DKM. Zona nyaman saya ternyata disini, di DKM. Akan tetapi
terlalu terlena di zona nyaman membuat saya tidak terlalu bisa mengembangkan
diri, dan hal ini yang menjadikan saya berusaha keluar dari zona nyaman (hanya
fokus satu hal) saja.
Masa perkuliahan dimulai, dan ini
waktunya menjadi manusia dengan luapan kebaikan dan keluar dari zona nyaman. Saya
mengikuti berbagai kegiatan kampus. Tidak beragam memang, hanya Lembaga Dakwah
Fakultas dan Lembaga Dakwah Kampus untuk organisasinya, dan kepanitiaan acara
LDF –QA Fair- serta mentoring Islam Fakultas untuk kepanitiaan. Pada mulanya
saya menganggap kegiatan-kegiatan di dalamnya dalah hal santai, sebatas kajian.
Nyatanya tak begitu. LDF ataupun LDK memiliki tugas yang tak kalah penting disbanding
BEM dan sejenisnya. Ini berkaitan dengan kepentingan manusia pula. Mulai dari
sanalah saya faham bahwa LDF/LDK tak mengekslusifkan diri dan harus mencoba hal
lain, agar bisa mewarnai bukan terwarnai. Hal tersebut saya implementasikan
dengan ikut aktif menjadi pengurus paguyuban dan kepanitiaan lain yang lebih general.
Kontribusi yang saya berikan selama ini
menjadi media untuk muhasabah diri, mengembangkan diri, menambah relasi, dan
menebar kebaikan bagi sekitar. Untuk membangun suatu peradaban yang baik
dibutuhkan bibit-bibit unggul yang mampu bersaing dan bermental baik. Tak sampai
disitu, kontribusi yang telah saya berikan juga diharapkan menjadi amal ibadah
yang dapat membantu saya dan orang tua, kelak. Kotribusi saya untuk Indonesia
kedepannya adalah dengan menjadi salah satu tenaga kesehatan yang baik. Tenaga kesehatan
yang beriman dan bertakwa pada Tuhan. Karena saya yakin, ketika Tuhan adalah
hal yang utama dan kita mengutamakan-Nya, maka Dia akan membantu kita untuk
berbuat kebaikan di muka bumi ini, termasuk Indonesia.