Kamis, 14 Februari 2019

Inilah Saya : Rizki Amalia Nurfadhilah


Rizki Amalia Nurfadhilah, itulah nama saya. Sebuah nama dengan arti: Rezeki bila diamalkan akan menjadi cahaya yang berguna. Ya, berguna. Begitulah orang tua mengharapkan saya menjadi sosok manusia yang selalu memiliki rezeki yang akan membuat orang lain terbantu, dengan kata lain menjadi bermanfaat bagi sekitar. Lalu sampai usia 20 tahun ini sudahkah harapan yang diinginkan orang tua saya terwujud? Hmm, saya rasa belum sepenuhnya terjadi karena masih ada banyak sekali mimpi dan hal yang harus digapai demi terwujudnya harapan tersebut.

Dalam keluarga, saya adalah anak pertama dari dua bersaudara. Memiliki seorang adik perempuan kecil yang berjarak 14 tahun. Usia yang terpaut cukup jauh membuat saya harus bisa menjadi sosok panutan bagi adik kecil. Mengapa demikian? Ya, karena dimasa golden age-nya bisa merekam lebih banyak segala hal yang terlihat dan terdengar. Dan, ya, menjadi seorang kakak adalah tugas saya sebagai role model agar memberikan contoh terbaik untuk adik. Bukankah menjadi yang terbaik untuk bangsa dan agama dimulai dengan menjadi yang terbaik disekitar dulu? Salah satunya, menjadi kakak terbaik bagi adik.

Hidup dengan nama yang memiliki arti cukup baik tak jarang membuat saya merasa malu dan takut. Apakah saya bisa sesuai nama saya? Apakah yang akan saya berikan untuk Negara ini? Apa yang akan saya berikan untuk Bangsa in? Apa yang akan saya berikan untuk agama ini? Peran saya sudah sampai mana? Sudahkah saya peduli dengan sekitar saya? Atau apakah saya terlalu egois dan apatis terhadap orang lain?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selalu muncul menjadikan saya selalu berusaha menjadi yang terbaik dan melakukan segala sesuatu dengan maksimal. Selain mencoba menjadi kakak yang baik dan anak yang bisa dibanggakan orang tua, cara saya membanggakan mereka adalah dengan memperbaiki diri dan mencoba keluar dari zona nyaman. Ya, zona nyaman. Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk yang punya rasa penasaran tinggi, berusaha mencari hal yang baru, dan tentunya keluar dari zona nyaman.

Sejak Sekolah Dasar belasan tahun silam, saya sudah senang aktif dalam kegiatan di luar akademik. Mulai dengan mengikuti kegiatan Pramuka dan menjadi delegasi untuk ikut Jambore Cabang 2010, dan senang ikut berbagai lomba lain terlebih olahraga bola voli. Menginjak masa putih abu rasa penasaran semakin mencuat ke permukaan. Mengikuti OSIS, Paskibra, Pramuka, Voli, FAST (Forum Anak Sumedang Tandang), dan sebagainya. Hanya saja, yang bertahan tiga tahun penuh saya ikuti hanyalah Paskibra. Masa putih abu-pun dimulai, dan kala itu saya hanya mengikuti satu eksrakurikuler di sekolah, yaitu DKM. Zona nyaman saya ternyata disini, di DKM. Akan tetapi terlalu terlena di zona nyaman membuat saya tidak terlalu bisa mengembangkan diri, dan hal ini yang menjadikan saya berusaha keluar dari zona nyaman (hanya fokus satu hal) saja.

Masa perkuliahan dimulai, dan ini waktunya menjadi manusia dengan luapan kebaikan dan keluar dari zona nyaman. Saya mengikuti berbagai kegiatan kampus. Tidak beragam memang, hanya Lembaga Dakwah Fakultas dan Lembaga Dakwah Kampus untuk organisasinya, dan kepanitiaan acara LDF –QA Fair- serta mentoring Islam Fakultas untuk kepanitiaan. Pada mulanya saya menganggap kegiatan-kegiatan di dalamnya dalah hal santai, sebatas kajian. Nyatanya tak begitu. LDF ataupun LDK memiliki tugas yang tak kalah penting disbanding BEM dan sejenisnya. Ini berkaitan dengan kepentingan manusia pula. Mulai dari sanalah saya faham bahwa LDF/LDK tak mengekslusifkan diri dan harus mencoba hal lain, agar bisa mewarnai bukan terwarnai. Hal tersebut saya implementasikan dengan ikut aktif menjadi pengurus paguyuban dan kepanitiaan lain yang lebih general.

Kontribusi yang saya berikan selama ini menjadi media untuk muhasabah diri, mengembangkan diri, menambah relasi, dan menebar kebaikan bagi sekitar. Untuk membangun suatu peradaban yang baik dibutuhkan bibit-bibit unggul yang mampu bersaing dan bermental baik. Tak sampai disitu, kontribusi yang telah saya berikan juga diharapkan menjadi amal ibadah yang dapat membantu saya dan orang tua, kelak. Kotribusi saya untuk Indonesia kedepannya adalah dengan menjadi salah satu tenaga kesehatan yang baik. Tenaga kesehatan yang beriman dan bertakwa pada Tuhan. Karena saya yakin, ketika Tuhan adalah hal yang utama dan kita mengutamakan-Nya, maka Dia akan membantu kita untuk berbuat kebaikan di muka bumi ini, termasuk Indonesia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar